Meski kurang dari segi antusias penonton,
film negeri 5 menara masih dapat bernafas lega sebagai film yang
mendidik dan menghibur. Film yang diangkat dari novel best seller Ahmad
Fuadi ini, mengangkat sebuah realita kehidupan yang ada di pesantren.
Bagaimana perjuangan seorang anak yang harus rela jauh-jauh masuk ke
pesantren yang baginya adalah sebuah pilihan yang sangat sulit.
Film yang diputar tanggal 1 Maret 2012
serentak seluruh Indonesia, kini sudah hadir di Semarang. Ada dua tempat
yang memutar film ini, Citra 21 dan M Plazza. Namun, ditengah pemutaran
perdananya, saya yang menyaksikan langsung di bioskop masih melihat
kurangnya animo dari masyarakat terhadap perfilm di Indonesia.
Bangku-bangku kosong masih menjadi idola rupanya. Padahal film yang
diangkat ini adalah film yang diadaptasi dari sebuah novel best seller.
Dan biasanya untuk film bergenre drama ini dan melihat yang sudah-sudah,
pasti ramai saat pemutaran perdananya. Tapi ini tidak rupanya.
Mungkin yang sudah membaca novelnya
sangat menyelami alur cerita dari negeri 5 menara ini. Seru, ada
lucunya dan ada nilai-nilai penyemangat serta mendidik. Seperti biasa
ketika sebuah film diangkat dari novel, tidak semua alur cerita akan
sama. Di film ini, penggambarannya sederhana sekali namun memiliki
klimaks di pertengahan dan di akhir film.
Saat saya mulai menonton, saya sudah tahu
alur ceritanya. Namun, saya sedikit terkejut dengan tokoh yang
diberikan dari film ini. Tokoh utama yang bernama Alif memiliki
ciri-ciri fisik dengan penggambaran rambut panjang dan berkacamata dan
sedikit kumis yang mungkin bisa dibilang lebat untuk di usianya
tersebut.
Pemandangan alam yang indah menjadi latar
setting yang mampu menghidupkan suasana film ini. Selain itu, kultur
masyarakat Indonesia bagian Sumatra sangat ditonjolkan sekali. Yah,
tentu adalah sebuah kebanggaan bagi masyrakat yang menonton bahwa kita
diajarkan melihat lebih dekat mengenai budaya yang ada.
Satu hal yang perlu digaris bawahi, tidak
semua orang tahu bagaimana kehidupan pesantren yang sebenarnya. Di film
ini, saya sedikit banyak belajar dan mengetahuinya. Bahkan untuk bisa
masuk ke pesantren ternyata harus juga mengikuti tes masuk sama halnya
dengan masuk ke Sekolah.
Penonton mulai tertawa ketika ada sebuah
adegan dimana Alif yang sedang dipeluk ayahnya yang barusan diterima di
pesantren tersebut tiba-tiba rambutnya sudah dipotong. Alif disini
digambarkan sebagai remaja yang pemalu dan pendiam. Baginya, masuk ke
pesantren adalah pilihan yang salah.
Hadirnya Ikang Fauzi sebagai kiyai di
film ini tentu menjadi hal menarik selain beberapa artis baru yang
dimasukkan dalam perfilm Indonesia. Filosofi Man Jadda Wajadda seakan
menjadi icon di film yang berdurasi 120 menit ini. Hal-hal kecil yang
terjadi di sekitar pesantren seperti listik padam mampu menarik tawa
dari para penonton.
Nggak seru dunk, di film ini tanpa
dibumbui panah-panah asmara. Tenang aja. Di film ini wajah cantik si
Eriska Rein yang berperan sebagai sarah menjadi tantangan tersendiri
bagi Alif dan kawan-kawan. Bahkan, mereka bersepakat jika Alif bisa
berfoto bareng dengan Sarah, teman-teman Alif mau mencucikan pakaian
Alif selama seminggu.
Penonton yang ada disamping saya tak
menahan tawanya ketika beberapa adegan mencuri perhatian mereka. Adegan
seperti memperbaiki genset dan membawa tv kedalam pesantren seolah
menjadi hal tabu ternyata di film ini, para sahabat Alif bisa
mewujudkannya.
Klimaks sebenarnya dari film ini adalah
saat Baso yang menjadi orang yang memiliki jiwa pemimpin diantara mereka
harus pergi disaat sedang memulai sebuah kegiatan. Karena alasan
neneknya yang sakit, ia harus meninggalkan perjuangannya dan
sahabat-sahabatnya. Dan ketika acara yang sudah disusun rapi tersebut,
kini giliran Alif yang harus bertentangan dengan jiwanya.
Sumber : dotsemarang.blogdetik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar yang sopan dan membangun